Sabtu, 06 Desember 2008

Kepada Bapak Yang Tersenyum

Aku terdiam...
Tiba-tiba aku merasakan dadaku sesak dan hidungku memanas...
Bau ruangan ini sangat kurindukan.


Aku melangkahkan kaki ke ruangan itu...
seharusnya begitu aku masuk, sebuah senyum hangat t'lah terbiasa menyapaku..
tapi ternyata...
ruangan itu sungguh lengang dan rapi...
tak ada lagi kertas-kertas menumpuk menunggu untuk disentuh...
seperti tak pernah tersentuh siapapun.

Hmm...
Dia benar-benar sudah pergi...
meninggalkan ruang yang selalu wangi, wangi yang tak dia sukai...
meninggalkan mebel dengan warna khas miliknya...
meninggalkan sebuah perjalanan yang belum tuntas.

Dia pergi begitu saja tanpa pamit, haha..apa perlu?
tanpa pesan, pergi begitu saja...
meninggalkan kehampaan dalam hatiku, entah hati mereka...
aku belum sempat menyampaikan seikat kalimat untuknya.

Pak...
terimakasih ya sudah memberi kesempatan pada kami, padaku...
terimakasih juga sudah membimbing dan memimpin kami...
terimakasih...terimakasih...terimakasih...

Aku tidak akan lupa menulis dua kata namamu...
dalam tesis-ku...disertasi-ku...kelak...
dalam naskah pidato guru besar-ku, mungkin nanti...
dan akan ku kirim dalam sebuah bungkusan kado yang indah.

Pak...
engkau pergi, aku pun juga...
aku akan meninggalkan kantor ini, kursi ini, meja ini, semuanya...
aku akan memulai perjalanan panjangku di jalan yang t'lah kupilih...
do'akan aku ya Pak!



Senin, 17 November 2008

7 Minggu Menuju Akhir Kontrak


Hmm... Sebentar lagi waktu itu tiba. 2 tahun berlalu begitu cepat, apalagi kalau hanya melewati 7 minggu. Hari Rabu, 31 Desember 2008 adalah batas akhir waktuku duduk di kursi ini. Bekerja di dalam kantor dengan pekerjaan yang penuh dinamika dan bersama tim yang hebat.
Aku membiarkan memoriku mengadakan flashback perjalanan hidupku sebagai seorang sekretaris eksekutif tim koordinator blok fakultas kedokteran universitas gadjah mada, apa saja manfaat yang kuperoleh dan hikmah yang dapat kuambil, setelah insyaallah aku memberikan kemampuan dan pekerjaan terbaikku. Aku tidak akan mencoba mengingat apalagi mengungkit hal-hal yang tidak menyenangkan, untuk menjaga energi positif dan mood tetap happy.

Jadi inilah hasilnya:

  1. Bos yang sangat inspiring, honestly, it's true...

  2. Kantor yang eksklusif dengan design ruang yang paling apik dan fasilitas yang mencukupi (kecuali kamar mandi dalam he..he..)

  3. Teman-teman sekantor yang kompak: 4 dokter satu angkatan kuliah tapi tidak pernah kenal dekat, disatukan oleh pekerjaan.

  4. Mbak Widya, Mbak Rara, Mbak Citra, Mbak Prima: para pendahulu kami, kakak kelas kami yang dulu terasa begitu jauh, ternyata........

  5. Mbak Yani sang sekretaris yang pekerja keras.

  6. Semakin mengenal internet dan program-program komputer yang belum pernah tersentuh.

  7. Terlibat dalam workshop-workshop yang sering diadakan di hotel, artinya kamar hotel, makanan hotel dan semua fasilitas hotel gratiiss...

  8. Prioritas dalam training-training pendidikan.

  9. Dilibatkan dalam setiap proses perencanaan sampai dengan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kegiatan akademik. Dari sini banyak sekali ilmu yang didapatkan yang tidak diajari selama sekolah dan kuliah.

  10. Kenal dan otomatis menjadi dekat dengan para senior yang dulunya adalah para dosenku, artinya semakin mudah mencari rekomendasi untuk melanjutkan langkah karir.

  11. Prioritas beasiswa master dan PhD di luar negeri.

  12. Dekat dengan dunia dosen dan dunia mahasiswa, berada ditengahnya jadi mengerti sebab-akibat peristiwa yang terjadi di dalam dunia pendidikan, sebuah modal penting untuk menjadi pendidik.

  13. Mengenal lebih dekat dengan para karyawan, dari petugas kebersihan, penjaga kantin, satpam sampai petugas administratif semua golongan. Adanya penggolongan pegawai edukatif (dosen) dan non edukatif membuatku belajar banyak tentang kehidupan; baik-buruk, hitam-putih, sebab-akibat.

The most important thing is: I finally found what I'm looking for. Allah swt telah membuat skenario yang sungguh luar biasa. Dia menuntunku kepada jawaban atas pertanyaanku: mau kemana langkahku setelah menyandang predikat dokter? Dan kini, insyaallah, aku yakin melangkahkan kakiku di dunia pendidikan khususnya pendidikan kedokteran. Helping others to help themselves.

Terimakasih dan penghormatanku kepada orangtuaku yang telah memberikan kepercayaan untukku dalam proses mencari jati diri, kepada suamiku yang selalu mendukung dan memberi doa dalam setiap langkah yang kupilih, kepada Bos yang telah memberi kesempatan untuk duduk di posisiku saat ini. Awal yang baik insyaallah akan berakhir dengan kebaikan pula, amin.

Senin, 10 November 2008

Sepenggal Cerita Saat Puting Beliung

Ketika bencana alam yang disebut Puting Beliung itu terjadi, saya sedang tidur nyenyak(karena takut) bersama putri saya yang berusia hampir 5 bulan, Maura. Siang itu saya memang pulang awal dari kantor karena keadaan kesehatan yang sedang terganggu oleh flu yang lumayan menyita energi saya. Maura saya jemput di rumah eyangnya kemudian langsung saya bawa pulang. Si kecil ini juga sedang flu, bahkan lebih dulu daripada saya. Sampai di rumah kami bermesraan dan bermain-main seperti biasa. Tiba-tiba saja angin bertiup kencang, bahkan sangat kencang. Mangga-mangga yang bergelayut pada pohon di halaman rumah jatuh terhempas angin; gedebuk! gedebug! gedebug! Gesekan daun-daun begitu berisik diterpa angin yang seperti sedang menunjukkan kemarahannya.

"hmm...ngeri sekali sih...semoga saja tidak ada puting beliung seperti tahun lalu..."

Saya sempat membatin seperti itu sampai akhirnya saya tertidur menyusul Maura yang angler kekenyangan dalam pelukan saya.

Jam 15.30 saya terbangun, hujan sudah turun entah sejak kapan. Ups hampir lupa ada janji dengan Mama untuk fitting pakaian di sebuah butik batik eksklusif. Akan ada acara peragaan busana yang memamerkan produk dari butik batik tersebut, dan karena kebetulan bersamaan dengan acara syawalan IDI/IIDI Yogyakarta, maka saya diminta untuk berpartisipasi menjadi peragawati dadakan.
Sampai di sana, ternyata sepi, tidak ada seorangpun yang hadir sesuai perjanjian untuk fitting. Nyonya cantik pemilik butik tersebut menjelaskan bahwa acara fitting ditunda karena baru saja terjadi puting beliung di kawasan UGM, dan kawasan tersebut porak poranda.

"haaa??? masyaallah...kok kejadian bener to?"

Saya masih saja susah untuk percaya. Rasanya ingin langsung melihat ke TKP tapi saya urungkan karena pastilah jalanan disana macet oleh pohon-pohon yang tumbang. Lama saya tercenung, saya percaya, sangat percaya semua hal yang terjadi adalah skenario Sang Khalik, termasuk terjadinya bencana tersebut. Tapi, apakah kepulangan awal saya dari kantor juga termasuk dalam skenario-Nya? Apa kira-kira yang terjadi apabila saya melakukan aktivitas kantor seperti biasa, pulang mengantar ASI perah Maura pada jam 12, kemudian kembali ke kantor sampai jam 16. Karena kebetulan hari naas itu adalah hari jumat, jadi jadwal pulangnya adalah jam 15, tepat ketika puting beliung menyapa.

Saya menghubungi salah seorang rekan satu kantor menanyakan keadaannya. Dia baik-baik saja, hanya masih bingung atas kejadian yang baru saja terjadi. Keadaan benar-benar kacau balau, semua orang panik dan ketakutan. Pohon-pohon besar banyak bertumbangan, nyaris menimpa orang, "untung hanya" menimpa kendaraan yang sebagian besar mobil. Kampus tempat saya bekerja juga lumayan menderita kerugian. Taman nyaman tempat favorit mahasiswa seakan menjadi gundul karena pohon peneduhnya tumbang, gedung kuliah lantai 4 dan 5 tak bisa dipakai karena mengalami kebocoran besar, dua ring basket besar yang penyangganya terbuat dari besi roboh dan beberapa kerusakan lain yang tidak begitu besar.

Area yang terhantam memang benar-benar kawasan UGM dan klimaksnya adalah Grha Sabha Pramana. Miris sekali melihat kekacauan yang terjadi lewat televisi. Lapak-lapak kaki lima hancur, berapa saja orang yang kehilangan pekerjaannya dan harus mulai dari awal lagi. Ada pertanyaan menggelitik dari suamiku atas kejadian ini.

"Dari seluruh universitas yang ada di Yogyakarta, kenapa UGM yang "terpilih" puting beliung ya?"

Yang pasti semua hal yang terjadi merupakan tanda kebesaran Allah swt bagi orang-orang yang berpikir. Dari kebetulan kecil bahwa aku "diselamatkan" dari kejadian itu sampai dengan mengapa UGM yang terpilih menjadi pelampiasan puting beliung, sungguh banyak hikmah yang dapat kita ambil. Apa hikmah itu dan bagaimana menyikapi terjadinya bencana tersebut tentunya kembali kepada individu masing-masing. Benar dan salah, baik dan buruk, itulah isi kehidupan, dan Allah swt selalu ada untuk memberi kabar gembira dan peringatan bagi yang Dia cintai.

Kamis, 25 September 2008

Jadi Dokter

"Vivit...besok kalo udah gedhe mau jadi apa Nduk?"
"Mm mau jadi dokter kaya Papa"


Percakapan ini sering terjadi dalam kehidupan Vivit kecil. Jadi dokter, itulah jawaban yang selalu dilontarkan Vivit kecil setiap ditanya tentang cita-citanya, baik oleh Ibunya, Neneknya, PAkdhe, Budhe, Om, Tante, Tetangga, bahkan orang yang kebetulan duduk bersebelahan di angkutan umum.

Tahun 1997, cita-cita itu masih bulat, membara dan membuatnya tak sabar melewati masa 3 tahun di SMU. Namun entah kapan dan bagaimana cita-cita itu mulai meredup. Barangkali karena pergaulannya di SMU yang semakin luas, dia semakin menyadari banyaknya profesi menarik selain dokter di dunia ini. Kenyataan bahwa semua harapan berbagai pihak adalah menuntutnya menjadi seorang dokter seperti yang selama belasan tahun dia katakan membuatnya galau.

"Siapa lagi yang bisa meneruskan profesi Papa selain kamu? Kami kakak-kakak mu tak ada yang jadi dokter Dek. Buku-buku Papa yang buanyak itu buat siapa nantinya diwariskan kalu bukan ke kamu?"
"Mama dulu nggak kesampaian jadi dokter, walau sekarang akhirnya tetep dipanggil Bu Dokter karena dapet suami dokter. Jadi alhamdulillah kalau kamu bisa jadi dokter, Nduk"
"Waah, anak lanang kabeh dadi ahli ekonomi...berarti sing dadi dokter anak wedok ki."
Hueh...Vivit merasa sepertinya semua orang sudah membuat skenario bagi masa depannya. Pikirnya, "Mmmm...jadi dokter ya? Emangnya aku mampu ya? Sedangkan setelah menjalani masa sekolah ini ternyata aku tidak begitu berminat pada hal-hal yang berbau eksak, kecuali fisika. Mati-matian bisa masuk kelas IPA demi sebuah cita-cita yang telah surut sinarnya..menyedihkan.."

Her father, which is a lecturer, said

"Kedokteran itu ilmunya ditengah, tidak sangat eksak dan tidak sangat sosial. Tidak dibutuhkan orang pintar untuk jadi mahasiswa kedokteran, kami mencari orang yang rajin dan telaten"

Gubrak!
Rajin dan telaten dalam hal apa ya? Rajin dan telaten belajar? Hahaha... Kalau rajin dan telaten masak, merangkai bunga, bisnis sih ayo aja Bos!...
Kalau masalah rajin belajar...ohohoho...bukankah itu yang menjadi masalah selama sekolah. Belajar...belajar...belajar...tiap saat di suruh belajar tapi tidak pernah diajari cara belajar yang baik. Apakah perlu? tentu perlu, bahkan sangat perlu agar anak mengerti filosofi dari belajar, tahu manfaat dari apa yang mereka pelajari sehingga akan menimbulkan semangat dalam belajar.

Akhirnya dengan tingkat stress lumayan tinggi, luluslah Vivit dengan nilai ebtanas murni (NEM) yang JEBLOK! Gegerlah dunia...sang Ibu hampir tak bisa menahan emosinya, untunglah sang ayah masih bisa mengendalikan situasi dan bersikap bijak. Vivit direngkuh, dibesarkan hatinya untuk tidak menyerah karena perjuangan belum berakhir. NEM tidak akan menentukan lulus tidaknya ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), jadi insyaallah dengan niat yang sungguh-sungguh dan ikhtiar belajar maka semua akan dimudahkan olehNya.

Terharu dan malu, terbakarlah semangat Vivit untuk bangkit dan memperbaiki semuanya. Les intensif, belajar di rumah ditambah hidup prihatin selama satu bulan, akhirnya Vivit lulus UMPTN dan menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada. Alhamdulillah...bahagialah keluarga besarnya. Doa dan harapan mereka dikabulkan olehNya. Vivit juga bahagia karena keinginannya membahagiakan orang tua dijabahi oleh Sang Maha Pengasih.

Tak peduli apapun kata orang bahwa dia lulus UMPTN karena bapaknya adalah dosen FK UGM, Vivit sangat meyakini, apapun itu, apabila Alloh swt menghendaki sesuatu terjadi maka tak ada yang mampu mencegahnya, begitupun sebaliknya, apabila Dia tidak menghendaki suatu kejadian maka tak ada yang mampu memaksanya. Yang penting adalah mensyukuri nikmat ini dengan bertanggung jawab pada langkah yang telah dia pilih. Bismillah...enam tahun lagi aku akan menjadi dokter!

Jumat, 19 September 2008

Holopis Kuntul Baris

Holopis kuntul baris!
Ha..ha.. saya masih saja ingin tertawa kalau ingat bagaimana tiga kata ini masuk dalam otak saya saat menyengaja bengong hanya untuk mendapatkan alamat blog pribadi yang pas, untuk saya tentunya. Tiga kata ini "mak bedunduk" masuk dalam otak seperti wangsit dan tanpa pikir dua kali langsung resmi menjadi alamat blog saya, ya...blog yang sedang anda baca ini.
Dari segi arti, Holopis kuntul baris merupakan paribasan jawa, yang artinya saiyeg saeka praya, bebarengan mrantasi gawe (wikipedia), maksudnya kurang lebih bekerja dengan gotong royong. Ada berbagai cerita asal mula peribahasa ini.
Saya pernah membaca pengalaman seseorang di suatu blog, sebut saja Mr. Ho. Beliau mendengar peribahasa ini pertama kali saat duduk di bangku SD. Dia penasaran kenapa yang dijadikan lambang adalah burung kuntul (sejenis burung sawah) bukan burung pipit, blekok atau yang lain. Rasa penasaran ini dia bawa sampai rumah dan diungkapkan kepada neneknya. Neneknya menjelaskan, bahwa tidak ada satu jenis burungpun yang bisa berbaris. Di dunia ini yang bisa berbaris ya hanya manusia, dan jaman dahulu hanya kaum pria yang melakukan baris berbaris. Kata "kuntul" digunakan untuk memperhalus saja, demi menghindari kesan saru. Saru??? Mr.Ho kecil jadi tambah bingung. Akhirnya karena melihat cucunya tidak mengerti juga, sang nenek menjelaskan bahwa ungkapan yang benar adalah "holopis kuntul baris", huruf "u" pada "kuntul", mestinya ditulis dengan huruf "o". Mr.Ho kecil tertawa mendengar penjelasan yang sejelas-jelasnya ini, begitu juga saya yang membaca blognya...he..he..
Saya baca lagi dari blog seseorang yang lain, sebuat saja Mr. BO. Menurutnya kalimat ‘holopis kuntul baris’ ini berasal dari bahasa Belanda. Konon pada sekitar abad ke-16, kapal milik VOC berlabuh di Tuban dan pada saat bongkar muatan, salah satu awak kapalnya berteriak “HELP, IETS ONTILBAARS” (Tolong, ada barang yang tidak terangkat!), dan satu kapal saling bantu untuk mengangkat barang yang terlupa tadi. Nah, orang Jawa yang mendengar kalimat itu dan melihat kelakuan para ABK VOC ini memelesetkan kalimat tersebut, karena lidah Jawa yang terkenal kaku hingga menjadi ‘HOLOPIS KUNTUL BARIS’. Ehm...iya deh.
Referensi ketiga, dari Blog Mrs. Girl yang mendapatkan informasi asal peribahasa jawa ini langsung dari ayahandanya. Kata holopis kuntul baris berasal dari sebuah legenda konglomerat Spanyol bernama Don Lopez Conte de Basis. Suatu ketika konglomerat ini bangkrut hingga tak memiliki harta apapun. Lalu dengan penuh kerendahan hati beliau bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Setiap kali mengangkat barang yang berat Don Lopez ini selalu mengajak para kuli yang ada di situ untuk bergotong royong bersama mengangkat barang tersebut dengan penuh semangat kebersamaan. Legenda inilah yang akhirnya sampai ke tanah Jawa pada masa awal kemerdekaan. Kemudian semangat kerjasama dan gotong royong dalam legenda itu diadopsi oleh rakyat yang sedang membangun negara ini. Ketika sedang mengerjakan sesuatu yang berat dan butuh kerjasama, maka yang diteriakkan adalah nama konglomerat Spanyol tersebut. Namun karena lidah inlander, maka hasilnya menjadi "HOLOPIS KUNTUL BARISSSSS!!!"...semangaaat!!!!
Jadi, mana yang benar? Saya pikir tidaklah penting, yang pasti peribahasa ini berhasil menjadi lambang semangat pada diri banyak orang jawa dari jaman dahulu hingga sekarang, bahkan pernah dilontarkan oleh Bung Karno pada salah satu pidatonya untuk membakar semangat rakyat dalam bahu membahu mengatasi pekerjaan atau permasalahan yang sulit. Dan saya sendiri sedang ber-holopis kuntul baris bersama suami saya melakukan multijob sejak PRT kami tidak lagi melanjutkan masa tugasnya. Pagi bekerja di kantor masing-masing, sorenya berbagi tugas di rumah, dari menyapu, mengepel, mencuci, seterika, memasak dan mengasuh anak kami yang baru berusia 3 bulan.
Holopis kuntul baris! holopis kuntul baris! holopis kuntul baris!