Kamis, 25 September 2008

Jadi Dokter

"Vivit...besok kalo udah gedhe mau jadi apa Nduk?"
"Mm mau jadi dokter kaya Papa"


Percakapan ini sering terjadi dalam kehidupan Vivit kecil. Jadi dokter, itulah jawaban yang selalu dilontarkan Vivit kecil setiap ditanya tentang cita-citanya, baik oleh Ibunya, Neneknya, PAkdhe, Budhe, Om, Tante, Tetangga, bahkan orang yang kebetulan duduk bersebelahan di angkutan umum.

Tahun 1997, cita-cita itu masih bulat, membara dan membuatnya tak sabar melewati masa 3 tahun di SMU. Namun entah kapan dan bagaimana cita-cita itu mulai meredup. Barangkali karena pergaulannya di SMU yang semakin luas, dia semakin menyadari banyaknya profesi menarik selain dokter di dunia ini. Kenyataan bahwa semua harapan berbagai pihak adalah menuntutnya menjadi seorang dokter seperti yang selama belasan tahun dia katakan membuatnya galau.

"Siapa lagi yang bisa meneruskan profesi Papa selain kamu? Kami kakak-kakak mu tak ada yang jadi dokter Dek. Buku-buku Papa yang buanyak itu buat siapa nantinya diwariskan kalu bukan ke kamu?"
"Mama dulu nggak kesampaian jadi dokter, walau sekarang akhirnya tetep dipanggil Bu Dokter karena dapet suami dokter. Jadi alhamdulillah kalau kamu bisa jadi dokter, Nduk"
"Waah, anak lanang kabeh dadi ahli ekonomi...berarti sing dadi dokter anak wedok ki."
Hueh...Vivit merasa sepertinya semua orang sudah membuat skenario bagi masa depannya. Pikirnya, "Mmmm...jadi dokter ya? Emangnya aku mampu ya? Sedangkan setelah menjalani masa sekolah ini ternyata aku tidak begitu berminat pada hal-hal yang berbau eksak, kecuali fisika. Mati-matian bisa masuk kelas IPA demi sebuah cita-cita yang telah surut sinarnya..menyedihkan.."

Her father, which is a lecturer, said

"Kedokteran itu ilmunya ditengah, tidak sangat eksak dan tidak sangat sosial. Tidak dibutuhkan orang pintar untuk jadi mahasiswa kedokteran, kami mencari orang yang rajin dan telaten"

Gubrak!
Rajin dan telaten dalam hal apa ya? Rajin dan telaten belajar? Hahaha... Kalau rajin dan telaten masak, merangkai bunga, bisnis sih ayo aja Bos!...
Kalau masalah rajin belajar...ohohoho...bukankah itu yang menjadi masalah selama sekolah. Belajar...belajar...belajar...tiap saat di suruh belajar tapi tidak pernah diajari cara belajar yang baik. Apakah perlu? tentu perlu, bahkan sangat perlu agar anak mengerti filosofi dari belajar, tahu manfaat dari apa yang mereka pelajari sehingga akan menimbulkan semangat dalam belajar.

Akhirnya dengan tingkat stress lumayan tinggi, luluslah Vivit dengan nilai ebtanas murni (NEM) yang JEBLOK! Gegerlah dunia...sang Ibu hampir tak bisa menahan emosinya, untunglah sang ayah masih bisa mengendalikan situasi dan bersikap bijak. Vivit direngkuh, dibesarkan hatinya untuk tidak menyerah karena perjuangan belum berakhir. NEM tidak akan menentukan lulus tidaknya ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), jadi insyaallah dengan niat yang sungguh-sungguh dan ikhtiar belajar maka semua akan dimudahkan olehNya.

Terharu dan malu, terbakarlah semangat Vivit untuk bangkit dan memperbaiki semuanya. Les intensif, belajar di rumah ditambah hidup prihatin selama satu bulan, akhirnya Vivit lulus UMPTN dan menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada. Alhamdulillah...bahagialah keluarga besarnya. Doa dan harapan mereka dikabulkan olehNya. Vivit juga bahagia karena keinginannya membahagiakan orang tua dijabahi oleh Sang Maha Pengasih.

Tak peduli apapun kata orang bahwa dia lulus UMPTN karena bapaknya adalah dosen FK UGM, Vivit sangat meyakini, apapun itu, apabila Alloh swt menghendaki sesuatu terjadi maka tak ada yang mampu mencegahnya, begitupun sebaliknya, apabila Dia tidak menghendaki suatu kejadian maka tak ada yang mampu memaksanya. Yang penting adalah mensyukuri nikmat ini dengan bertanggung jawab pada langkah yang telah dia pilih. Bismillah...enam tahun lagi aku akan menjadi dokter!

Jumat, 19 September 2008

Holopis Kuntul Baris

Holopis kuntul baris!
Ha..ha.. saya masih saja ingin tertawa kalau ingat bagaimana tiga kata ini masuk dalam otak saya saat menyengaja bengong hanya untuk mendapatkan alamat blog pribadi yang pas, untuk saya tentunya. Tiga kata ini "mak bedunduk" masuk dalam otak seperti wangsit dan tanpa pikir dua kali langsung resmi menjadi alamat blog saya, ya...blog yang sedang anda baca ini.
Dari segi arti, Holopis kuntul baris merupakan paribasan jawa, yang artinya saiyeg saeka praya, bebarengan mrantasi gawe (wikipedia), maksudnya kurang lebih bekerja dengan gotong royong. Ada berbagai cerita asal mula peribahasa ini.
Saya pernah membaca pengalaman seseorang di suatu blog, sebut saja Mr. Ho. Beliau mendengar peribahasa ini pertama kali saat duduk di bangku SD. Dia penasaran kenapa yang dijadikan lambang adalah burung kuntul (sejenis burung sawah) bukan burung pipit, blekok atau yang lain. Rasa penasaran ini dia bawa sampai rumah dan diungkapkan kepada neneknya. Neneknya menjelaskan, bahwa tidak ada satu jenis burungpun yang bisa berbaris. Di dunia ini yang bisa berbaris ya hanya manusia, dan jaman dahulu hanya kaum pria yang melakukan baris berbaris. Kata "kuntul" digunakan untuk memperhalus saja, demi menghindari kesan saru. Saru??? Mr.Ho kecil jadi tambah bingung. Akhirnya karena melihat cucunya tidak mengerti juga, sang nenek menjelaskan bahwa ungkapan yang benar adalah "holopis kuntul baris", huruf "u" pada "kuntul", mestinya ditulis dengan huruf "o". Mr.Ho kecil tertawa mendengar penjelasan yang sejelas-jelasnya ini, begitu juga saya yang membaca blognya...he..he..
Saya baca lagi dari blog seseorang yang lain, sebuat saja Mr. BO. Menurutnya kalimat ‘holopis kuntul baris’ ini berasal dari bahasa Belanda. Konon pada sekitar abad ke-16, kapal milik VOC berlabuh di Tuban dan pada saat bongkar muatan, salah satu awak kapalnya berteriak “HELP, IETS ONTILBAARS” (Tolong, ada barang yang tidak terangkat!), dan satu kapal saling bantu untuk mengangkat barang yang terlupa tadi. Nah, orang Jawa yang mendengar kalimat itu dan melihat kelakuan para ABK VOC ini memelesetkan kalimat tersebut, karena lidah Jawa yang terkenal kaku hingga menjadi ‘HOLOPIS KUNTUL BARIS’. Ehm...iya deh.
Referensi ketiga, dari Blog Mrs. Girl yang mendapatkan informasi asal peribahasa jawa ini langsung dari ayahandanya. Kata holopis kuntul baris berasal dari sebuah legenda konglomerat Spanyol bernama Don Lopez Conte de Basis. Suatu ketika konglomerat ini bangkrut hingga tak memiliki harta apapun. Lalu dengan penuh kerendahan hati beliau bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Setiap kali mengangkat barang yang berat Don Lopez ini selalu mengajak para kuli yang ada di situ untuk bergotong royong bersama mengangkat barang tersebut dengan penuh semangat kebersamaan. Legenda inilah yang akhirnya sampai ke tanah Jawa pada masa awal kemerdekaan. Kemudian semangat kerjasama dan gotong royong dalam legenda itu diadopsi oleh rakyat yang sedang membangun negara ini. Ketika sedang mengerjakan sesuatu yang berat dan butuh kerjasama, maka yang diteriakkan adalah nama konglomerat Spanyol tersebut. Namun karena lidah inlander, maka hasilnya menjadi "HOLOPIS KUNTUL BARISSSSS!!!"...semangaaat!!!!
Jadi, mana yang benar? Saya pikir tidaklah penting, yang pasti peribahasa ini berhasil menjadi lambang semangat pada diri banyak orang jawa dari jaman dahulu hingga sekarang, bahkan pernah dilontarkan oleh Bung Karno pada salah satu pidatonya untuk membakar semangat rakyat dalam bahu membahu mengatasi pekerjaan atau permasalahan yang sulit. Dan saya sendiri sedang ber-holopis kuntul baris bersama suami saya melakukan multijob sejak PRT kami tidak lagi melanjutkan masa tugasnya. Pagi bekerja di kantor masing-masing, sorenya berbagi tugas di rumah, dari menyapu, mengepel, mencuci, seterika, memasak dan mengasuh anak kami yang baru berusia 3 bulan.
Holopis kuntul baris! holopis kuntul baris! holopis kuntul baris!