"Vivit...besok kalo udah gedhe mau jadi apa Nduk?"
"Mm mau jadi dokter kaya Papa"
Percakapan ini sering terjadi dalam kehidupan Vivit kecil. Jadi dokter, itulah jawaban yang selalu dilontarkan Vivit kecil setiap ditanya tentang cita-citanya, baik oleh Ibunya, Neneknya, PAkdhe, Budhe, Om, Tante, Tetangga, bahkan orang yang kebetulan duduk bersebelahan di angkutan umum.
Tahun 1997, cita-cita itu masih bulat, membara dan membuatnya tak sabar melewati masa 3 tahun di SMU. Namun entah kapan dan bagaimana cita-cita itu mulai meredup. Barangkali karena pergaulannya di SMU yang semakin luas, dia semakin menyadari banyaknya profesi menarik selain dokter di dunia ini. Kenyataan bahwa semua harapan berbagai pihak adalah menuntutnya menjadi seorang dokter seperti yang selama belasan tahun dia katakan membuatnya galau.
"Siapa lagi yang bisa meneruskan profesi Papa selain kamu? Kami kakak-kakak mu tak ada yang jadi dokter Dek. Buku-buku Papa yang buanyak itu buat siapa nantinya diwariskan kalu bukan ke kamu?"
"Mama dulu nggak kesampaian jadi dokter, walau sekarang akhirnya tetep dipanggil Bu Dokter karena dapet suami dokter. Jadi alhamdulillah kalau kamu bisa jadi dokter, Nduk"
"Waah, anak lanang kabeh dadi ahli ekonomi...berarti sing dadi dokter anak wedok ki."
Hueh...Vivit merasa sepertinya semua orang sudah membuat skenario bagi masa depannya. Pikirnya, "Mmmm...jadi dokter ya? Emangnya aku mampu ya? Sedangkan setelah menjalani masa sekolah ini ternyata aku tidak begitu berminat pada hal-hal yang berbau eksak, kecuali fisika. Mati-matian bisa masuk kelas IPA demi sebuah cita-cita yang telah surut sinarnya..menyedihkan.."
Her father, which is a lecturer, said
"Kedokteran itu ilmunya ditengah, tidak sangat eksak dan tidak sangat sosial. Tidak dibutuhkan orang pintar untuk jadi mahasiswa kedokteran, kami mencari orang yang rajin dan telaten"
Gubrak!
Rajin dan telaten dalam hal apa ya? Rajin dan telaten belajar? Hahaha... Kalau rajin dan telaten masak, merangkai bunga, bisnis sih ayo aja Bos!...
Kalau masalah rajin belajar...ohohoho...bukankah itu yang menjadi masalah selama sekolah. Belajar...belajar...belajar...tiap saat di suruh belajar tapi tidak pernah diajari cara belajar yang baik. Apakah perlu? tentu perlu, bahkan sangat perlu agar anak mengerti filosofi dari belajar, tahu manfaat dari apa yang mereka pelajari sehingga akan menimbulkan semangat dalam belajar.
Akhirnya dengan tingkat stress lumayan tinggi, luluslah Vivit dengan nilai ebtanas murni (NEM) yang JEBLOK! Gegerlah dunia...sang Ibu hampir tak bisa menahan emosinya, untunglah sang ayah masih bisa mengendalikan situasi dan bersikap bijak. Vivit direngkuh, dibesarkan hatinya untuk tidak menyerah karena perjuangan belum berakhir. NEM tidak akan menentukan lulus tidaknya ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), jadi insyaallah dengan niat yang sungguh-sungguh dan ikhtiar belajar maka semua akan dimudahkan olehNya.
Terharu dan malu, terbakarlah semangat Vivit untuk bangkit dan memperbaiki semuanya. Les intensif, belajar di rumah ditambah hidup prihatin selama satu bulan, akhirnya Vivit lulus UMPTN dan menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada. Alhamdulillah...bahagialah keluarga besarnya. Doa dan harapan mereka dikabulkan olehNya. Vivit juga bahagia karena keinginannya membahagiakan orang tua dijabahi oleh Sang Maha Pengasih.
Tak peduli apapun kata orang bahwa dia lulus UMPTN karena bapaknya adalah dosen FK UGM, Vivit sangat meyakini, apapun itu, apabila Alloh swt menghendaki sesuatu terjadi maka tak ada yang mampu mencegahnya, begitupun sebaliknya, apabila Dia tidak menghendaki suatu kejadian maka tak ada yang mampu memaksanya. Yang penting adalah mensyukuri nikmat ini dengan bertanggung jawab pada langkah yang telah dia pilih. Bismillah...enam tahun lagi aku akan menjadi dokter!
"Mm mau jadi dokter kaya Papa"
Percakapan ini sering terjadi dalam kehidupan Vivit kecil. Jadi dokter, itulah jawaban yang selalu dilontarkan Vivit kecil setiap ditanya tentang cita-citanya, baik oleh Ibunya, Neneknya, PAkdhe, Budhe, Om, Tante, Tetangga, bahkan orang yang kebetulan duduk bersebelahan di angkutan umum.
Tahun 1997, cita-cita itu masih bulat, membara dan membuatnya tak sabar melewati masa 3 tahun di SMU. Namun entah kapan dan bagaimana cita-cita itu mulai meredup. Barangkali karena pergaulannya di SMU yang semakin luas, dia semakin menyadari banyaknya profesi menarik selain dokter di dunia ini. Kenyataan bahwa semua harapan berbagai pihak adalah menuntutnya menjadi seorang dokter seperti yang selama belasan tahun dia katakan membuatnya galau.
"Siapa lagi yang bisa meneruskan profesi Papa selain kamu? Kami kakak-kakak mu tak ada yang jadi dokter Dek. Buku-buku Papa yang buanyak itu buat siapa nantinya diwariskan kalu bukan ke kamu?"
"Mama dulu nggak kesampaian jadi dokter, walau sekarang akhirnya tetep dipanggil Bu Dokter karena dapet suami dokter. Jadi alhamdulillah kalau kamu bisa jadi dokter, Nduk"
"Waah, anak lanang kabeh dadi ahli ekonomi...berarti sing dadi dokter anak wedok ki."
Hueh...Vivit merasa sepertinya semua orang sudah membuat skenario bagi masa depannya. Pikirnya, "Mmmm...jadi dokter ya? Emangnya aku mampu ya? Sedangkan setelah menjalani masa sekolah ini ternyata aku tidak begitu berminat pada hal-hal yang berbau eksak, kecuali fisika. Mati-matian bisa masuk kelas IPA demi sebuah cita-cita yang telah surut sinarnya..menyedihkan.."
Her father, which is a lecturer, said
"Kedokteran itu ilmunya ditengah, tidak sangat eksak dan tidak sangat sosial. Tidak dibutuhkan orang pintar untuk jadi mahasiswa kedokteran, kami mencari orang yang rajin dan telaten"
Gubrak!
Rajin dan telaten dalam hal apa ya? Rajin dan telaten belajar? Hahaha... Kalau rajin dan telaten masak, merangkai bunga, bisnis sih ayo aja Bos!...
Kalau masalah rajin belajar...ohohoho...bukankah itu yang menjadi masalah selama sekolah. Belajar...belajar...belajar...tiap saat di suruh belajar tapi tidak pernah diajari cara belajar yang baik. Apakah perlu? tentu perlu, bahkan sangat perlu agar anak mengerti filosofi dari belajar, tahu manfaat dari apa yang mereka pelajari sehingga akan menimbulkan semangat dalam belajar.
Akhirnya dengan tingkat stress lumayan tinggi, luluslah Vivit dengan nilai ebtanas murni (NEM) yang JEBLOK! Gegerlah dunia...sang Ibu hampir tak bisa menahan emosinya, untunglah sang ayah masih bisa mengendalikan situasi dan bersikap bijak. Vivit direngkuh, dibesarkan hatinya untuk tidak menyerah karena perjuangan belum berakhir. NEM tidak akan menentukan lulus tidaknya ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), jadi insyaallah dengan niat yang sungguh-sungguh dan ikhtiar belajar maka semua akan dimudahkan olehNya.
Terharu dan malu, terbakarlah semangat Vivit untuk bangkit dan memperbaiki semuanya. Les intensif, belajar di rumah ditambah hidup prihatin selama satu bulan, akhirnya Vivit lulus UMPTN dan menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada. Alhamdulillah...bahagialah keluarga besarnya. Doa dan harapan mereka dikabulkan olehNya. Vivit juga bahagia karena keinginannya membahagiakan orang tua dijabahi oleh Sang Maha Pengasih.
Tak peduli apapun kata orang bahwa dia lulus UMPTN karena bapaknya adalah dosen FK UGM, Vivit sangat meyakini, apapun itu, apabila Alloh swt menghendaki sesuatu terjadi maka tak ada yang mampu mencegahnya, begitupun sebaliknya, apabila Dia tidak menghendaki suatu kejadian maka tak ada yang mampu memaksanya. Yang penting adalah mensyukuri nikmat ini dengan bertanggung jawab pada langkah yang telah dia pilih. Bismillah...enam tahun lagi aku akan menjadi dokter!