Selasa, 19 Juli 2011

Dunia seni tari, karawitan dan saya -dua-


Pada saat SMP, saya memilih ekstra kurikuler tari dan karawitan. Berbagai tarian diajarkan oleh Bapak Sudarminto dan semuanya adalah kreasi baru. Mungkin karena terlalu pe-de dengan kemampuan saya sendiri, pada saat ujian tari tahun pertama nilai saya jelek. Ternyata saya berlebihan dalam memperagakan dasar-dasar tari yang diujikan hohoho...pelajaran lagi OJO DUMEH! Di tahun ke-dua saya mulai mawas diri dan ternyata membuahkan hasil. Pak Guru mulai melirik saya dan menyadari bakat saya (cieh..cieh...sombong lagi niii). Dan terpilihlah saya untuk mewakili sekolah dalam perlombaan tari dalam rangka hari pendidikan nasional.

Walaupun tari bukan hal baru bagi saya, namun tari gaya Yogyakarta menjadi sangat baru untuk saya. Dalam lomba tari ini saya harus membawakan beksan Retno Asri. Beruntung penciptanya adalah salah satu guru saya di paguyuban Wayang Bocah Kusuma Indria, Mbak Inul. Maka saya langsung nyuwun les privat ke rumah beliau di Kemitbumen. Saya berusaha berlatih semampu saya untuk menyesuaikan dengan dasar gerak tari gaya Yogyakarta. Saat latihan saya sering memperhatikan Mbak Asteria Retno Swastiastuti .ak.a Mbak Ias, adik Mbak Inul, yang juga latihan menari beksan yang sama untuk lomba tingkat SMA. Kemampuan Mbak Iyaz sudah tidak diragukan lagi menurut saya mengingat kedua orang tua dan kedua kakaknya mengajar di ISI Yogyakarta (cmiiw). Dua tahun mewakili sekolah saya dalam perlombaan tari, dua kali pula saya menduduki juara 2. Juara 1 selalu diduduki oleh seorang penari cilik dari SMP 8 yang saya lupa namanya. Gerakannya memang begitu gemulai, kalau ibu saya mengungkapkan, tariannya nggandhul yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh penari tingkat advance.

Pada akhirnya justru beksan Retno Asri inilah yang sangat sering saya bawakan sampai kuliah bila saya diminta untuk menari dalam acara-acara tertentu, jauh dari komunitas penari yang saya cintai, bahkan sampai ke negara Belanda ketika saya ngekor ayah saya dalam suatu acara course pendidikan kedokteran. Tarian ini yang pada akhirnya menjadi satu-satunya tarian yang tersisa dan bertahan di ingatan saya. Saya sering menarikannya sendiri di rumah ketika sedang rindu penari dan menari.


picture is taken from http://tjokrosuharto.com/catalog/product_info.php/cPath/27_50/products_id/175

Dunia seni tari, karawitan dan saya -satu-


Dunia seni tari dan karawitan sudah diperkenalkan kepada saya, mungkin, sejak saya lahir ceprot ke dunia ini. Bagaimana tidak? Pasalnya kedua orang tua saya sangat mencintai seni tari dan karawitan jawa, khususnya gaya Surakarta. Papa Harsono sudah apalan jadi Kresna *baca:Kresno*, sampai-sampai ada pasien beliau yang baru pertama bertemu tapi sudah seperti kenal lama. Ternyata pasien itu nge-fans dengan Prabu Kresno-nya Papa Harsono yang sering tayang di TVRI Yogyakarta tahun 80-an. Mama Dhany sangat mencintai peran Srikandi yang cukup sering didapuknya, atau peran-peran rasaksa wanita atau wanita wujud buta *baca:buto* seperti Durga. "Aku pakai kiprah yaaa" begitu selalu pintanya tiap berperan jadi buta.

Berbagai pementasan wayang orang telah mereka ikuti baik on air maupun off air. Saya beberapa kali tidur di studio TVRI Yogyakarta demi menemani dan menonton orang tua saya berperan serta dalam Wayang Orang. Walaupun kedua orang tua bukan seniman profesional, namun kecintaan mereka serta penguasaan pengetahuan mereka terhadap dunia ini merupakan penghargaan yang tak ternilai (menurut saya).

Sejak usia balita, badan saya sudah otomatis bergerak kemayu bila mendengar alunan gending. Menari-nari sesuka hati, memakai sampur mini, payung kertas, menggendong boneka dan menjinjing kendi berlagak menari bondan. Senang bukan kepalang, maka ibu saya mencari guru tari privat untuk saya. Terpilihlah Mbak Kinting Handjati yang muda, cantik dan imut-imut. Ibu saya sebetulnya bisa melatih sendiri karena beliau sebenarnya juga pelatih tari, tapi karena menghindari "rame" jadi lebih baik saya diserahkan ke pelatih lain. Rame adalah saat ibu saya melatih sambil nggetak-nggetak dan saya ngeyel atau malah nangis *capek dehhh*.

Saya berlatih tari seminggu sekali, dan entah tiba-tiba saja saya berkesempatan untuk pentas di panggung 17 Agustusan di RT saya. Masih ingat betul kebahagiaan dipaesi dan memakai kostum tari Kijang saat itu serta rasa dag-dig-dug sebelum unjuk diri di panggung. Satu hal yang diajarkan oleh Ibu saya sebelum unjuk diri di muka umum adalan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kuat. Sampai saat ini pun masih saya lakukan, bukan hanya saat akan tampil di muka umum tapi juga saat harus mengontrol emosi.

Pentas-pentas selanjutnya seakan datang mengalir tanpa diundang. Mungkin pada saat itu Mbak Kinting-lah yang mempromosikan saya he..he..Pentas di sekaten, resepsi pernikahan, juga FKY. Saya masih ingat 3 tarian andalan yang selalu saya bawakan: Tari Kijang, Tari Golek Sri Rejeki dan Tari Bambangan Cakil, sebagai cakil adalah Mas Wisnu yang juga menjadi teman menari saya yang pertama. Mulai kelas 3 SD saya dipercaya untuk pentas tari di setiap acara perpisahan dan mewakili sekolah untuk lomba tari. Walaupun belum berkesempatan untuk menang, namun saya toh senang-senang saja. Dan dari pengalaman ini, ibu saya mengajarkan bahwa masih banyak sekali anak-anak yang bisa menari jauh lebih baik dari saya. Maka saya harus lebih giat berlatih dan tidak ngeyel:)

picture is taken from http://nusantarabatikshop.blogspot.com/2011/04/selendang-sampur-selendang-tari.html